oleh Drs. Suwadji (Kepala Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta)
Salah satu harapan yang diamanatkan oleh Keputusan Kongres Bahasa· Jawa 1991 ialah agar pada Kongres Bahasa jawa 1996 telah disusun dan dibakukan pedoman ejaan bahasa jawa dengan huruf jawa (*atau AKSARA JAWA). Melalui proses pembicaraan yang panjang, pedoman ejaan yang dimaksudkan itu kini telah dapat diwujudkan bersamaan dengan dimulainya penyelenggaraan Kongres Bahasa lawa 1996 di Batu. Malang. Buku pedoman itu diharapkan dapal dijadikan pegangan dalam penulisan bahasa Jawa dengan huruf Jawa (* AKSARA JAWA) bagi masyarakat pemakai bahasa Jawa, baik yang berada di Daerah lstimewa Yogyakarta. Jawa Tengah. dan lawa TImur maupun yang berada di luar ketiga daerah itu.
Buku pedoman ejaan tersebul disusun dengan berbagai perubahan atas pedoman lama. yang sudah lama pula digunakan. Dengan berbagai perubahan itu dimaksudkan agar pedoman ejaan yang baru itu menjadi lebih sederhana dalam arti lebih mudah diterapkan dalam penulisan dengan huruf Jawa (* AKSARA JAWA ), terutama bagi generasi muda. Oleh karena itu, penyusunan pedoman ejaan baru itu juga bertujuan agar generasi muda tidak makin menjauhi huruf Jawa.
Hal yang perlu disadari adalah bahwa penggantian pedoman ejaan lama dengan pedoman ejaan baru dalam suatu bahasa merupakan hal yang wajar. Bahasa Indonesia pun telah beberapa kali mengalami pergantian pedoman ejaan semacam itu. Merupakan hal yang wajar pula apabila pada tahap awal berlakunya pedoman ejaan yang baru itu, banyak hambatan yang akan dihadapi. Akhimya, mudah mudahan buku pedoman ejaan yang baru itu dapat menggairahkan kegiatan tulis-menulis dengan huruf Jawa bagi masyarakat pemakai bahasa Jawa, terutama bagi generasi muda.
Ulasan:
Mengingat bahwa pedoman tersebut merupakan produk hukun legal formal dari ketiga gubernur (DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur), maka (lepas dari segala kekurangan yang ada karena perkembangan jaman) pedoman inilah yang digunakan secara resmi di 3 Propinsi, kecuali jika ada produk hukum yang lebih baru atau ada produk hukum yang secara hirarki lebih tinggi sehingga menganulir kesepakatan 3 guberbur tersebut.
Naskah pertama beraksara Jawa yang ditemukan adalah Serat Sunan Bonang atau Serat Syeh Bari atau Het Book van Bonang (awal abad 16 M) malah lebih tua dibanding naskah beraksara mirip Kawi atau beraksara Budha (awal abad 16 – akhir abad 18). Apa yang bisa disimpulkan ?
Halaman awal Serat Sunan Bonang
Koleksi naskah merapi merbabu
Kesimpulan saya berdasar naskah di atas adalah: Aksara Kawi pasca runtuhnya Majapahit mengalami dua arah perkembangan. Satu, perubahan revolusioner (meliputi bentuk dan sistem tatatulis, termasuk penambahan aksara rekan dan juga penggunaan yang bukan lagi untuk menulis bahasa Kawi tetapi untuk bahasa jawa baru dan malah bahasa Arab)=> menjadi aksara Jawa. Dua, perubahan evolusi/lambat menjadi aksara Gunung Merapi-Merbabu yang tak terlalu jauh berbeda dengan aksara kawi (baik bentuk, tatatulis, maupun penggunaan yang sebagian besar masih untuk menulis bahasa kawi).
Karena aksara Jawa pada saat itu (jaman Demak) ditujukan menulis bahasa Jawa (dan juga Arab, dengan tambahan rekan) maka wajar tidak seluruh set karakter aksara kawi diambil oleh aksara Jawa, pun ada sebagian yang secara bunyi/pengucapan sudah berbeda dengan aksara Kawi.
Di sisi lain, aksara gunung Merapi-Merbabu tetap mempertahankan keaslian bunyi dan kelengkapan set karakter aksara Kawi, karena memang lebih banyak ditujukan untuk menulis dalam bahasa Kawi.
Jaman berjalan, sampai suatu ketika para ahli yang ingin menyalin naskah kakawin berbahasa kawi ke dalam naskah beraksara Jawa agak terkendala keterbatasan aksara Jawa. karena tentu saja aksara jawa jaman Demak tak selengkap aksara Kawi, ditambah ada distorsi bunyi. Maka para ahli menjadikan aksara Bali lontar kakawin sebagai rujukan untuk menyusun aksara Jawa lengkap dengan urutan “kaganga” sesuai karakter set aksara Kawi, dimana memang aksara Bali sudah terlebih dahulu melengkapi aksaranya untuk menyalin kakawin bahasa Kawi aksara kawi ke dalam lontar aksara Bali, karena memang Bali sangat kuat dalam tradisi penyalinan naskah kuna ke dalam lontar.
Naskah kuna yang sudah disalin dengan aksara jawa cetak (rujukan aksara Jawa untuk bahasa Jawa kuna adalah lontar beraksara Bali) antara lain:
Aksara itu hidup dan berkembang sangat tergantung kepada penggunanya. Oleh Van der Molen (ahli naskah kuno) Aksara Merapi-Merbabu diperkiraan berhenti pada akhir abad 18 karena tidak ada lagi penggunanya.
Aksara-aksara lokal di nusantara, jika tak ada lagi “penggunanya”, maka juga tinggal menunggu saatnya untuk tidur panjang, atau mati suri, atau bahkan betul-betul mati, dan akhirnya tinggal sejarah.
Aksara Jawa masih digunakan pada saat ini, bahkan sudah terdaftar di UNICODE. Tetapi, sekali lagi, perkembangannya akan ditentukan oleh penggunanya sendiri.
Aksara jawa yang berkembang saat ini seolah menjadi ada dua.
Aksara Jawa dengan urutan “hanacaraka” sebagai perkembangan dari aksara Jawa naskah Sunan Bonang di atas, dan masih aktif diajarkan di sekolah2.
Aksara jawa yang digunakan untuk menyalin naskah kuna berbahasa Jawa kuna., dalam hal ini saya sebut aksara jawa “kaganga” karena menganut urutan dan kelengkapan aksara Kawi, sebagai aksara induknya, dimana bentuk-bentuk karakter untuk melengkapinya merujuk kepada aksara Bali lontar (yang digunakan untuk menyalin turun temurun naskah lontar Bali yang pada aslinya naskah berupa aksara Kawi).
Aksara Jawa hanacaraka (carakan) dengan aksara Jawa ‘kaganga’ bisa jadi bentuknya sama, tetapi bisa jadi pula bunyi/pelafalannya serta fungsinya sudah berbeda.