Sementara ini yang bisa saya rumuskan dalam tatatulis Mardikawi.
Rumus MK dalam satu kata
Kombinasi yang pasti:
ꦏ꧀ꦰ ꧈ ꧌ꦔ꧀ꦱ atau ꦔ꧀ꦯ ꧍
ꦯ꧀ꦕ ꧈ ꦯ꧀ꦗ ꧈ ꦰ꧀ꦛ ꧈ ꦰ꧀ꦝ ꧈ ꦰ꧀ꦟ
ꦚ꧀ꦕ ꧈ ꦚ꧀ꦗ ꧈ ꦟ꧀ꦛ ꧈ ꦟ꧀ꦝ
sengau (ng/ṅ) selain di akhir kata, selalu berupa ꦔ dipasangi (misal: ꦔ꧀ꦠ ꧈ ꦔ꧀ꦒ ꧈ ꦔ꧀ꦲ꧈ dll) utk selain kata yg suku katanya seolah berulang, misal: lengleng, bangbang, dll ꦊꦁꦊꦁ ꧈ ꦧꦁꦧꦁ
Kombinasi cenderung muncul, tapi tidak pasti juga:
ꦯ꧀ꦩ ꧈ ꦰ꧀ꦩ ꧈ ꦰ꧀ꦥ ꧈ ꦰ꧀ꦧ ꧈ ꦰ꧀ꦏ ꧈
ꦯꦿ ꧈ ꦯ꧀ꦮ ꧈
Kombinasi dengan répha (répha, bukan layar):
1. pasti rangkap kembar
ꦏ꧀ꦏꦂ ꧈ ꦒ꧀ꦒꦂ ꧈ ꦗ꧀ꦗꦂ ꧈ ꦭ꧀ꦭꦂ ꧈ ꦮꦂ꧀ꦮ ꧈ ꦥꦂ꧀ꦥ ꧈ ꦧ꧀ꦧꦂ ꧈ ꦩ꧀ꦩ
2. rangkap dengan alternatif
꧌ ꦢ꧀ꦢꦂ atau ꦢ꧀ꦣꦂ ꧍ ꧈ ꧌ ꦕ꧀ꦕꦂ atau ꦕ꧀ꦖꦂ ꧍ ꧈ ꦪꦾꦂ
3. rangkap, alternatif atau tunggal
꧌ ꦟ꧀ꦟꦂ atau ꦟ꧀ꦤꦂ atau ꦟꦂ ꧍ ꧈ ꧌ ꦒ꧀ꦒꦂ ꧈ ꦒ꧀ꦓ ꧈ ꦓ꧀ꦓꦂ ꧈ ꦓꦂ ꧍
4. hanya tunggal
ꦲꦂ ꧈ ꦚꦂ ꧈ ꦔꦂ ꧈ ꦝꦂ ꧈ ꦛꦂ ꧈ ꦰꦂ (jika sebelumnya ꦢ maka ꦯꦂ > ꦢꦯꦂ )
5. tak pernah kombinasi dg répha
ꦫ
Dalam kata tunggal:
répha diakhir kata selalu berupa ra dipangku ꦫ꧀
cêcêk sebagai penanda suku kata terakhir.
wignyan juga sbg penanda wanda akhir.
Jika tidak dalam bentuk tunggal, dan jika kata sesudahnya berawal aksara swara, maka berlaku hukum sastralampah, dimana sigeg ꦫ꧀ ꧈ cêcêk ꧈ ꦃ berubah ꦫ ꧈ ꦔ ꧈ ꦲ dengan sandangan sesuai aksara swara tsb.
Hukum sastralampah ini berlaku untuk semua jenis sigeg.
Selain yang diatas, maka silahkan buka bausastra kawi. Jika di kamus ada yang tidak menurut rumus di atas, maka menang adalah kamus. Jika suatu kata tidak ada di kamus, maka rumus di atas bisa dijadikan patokan.
Sekali lagi, ini menurut mardikawi, yang bisa jadi, beda kombinasi bisa beda arti. Maka untuk jelasnya bisa melihat di Buku Serat Mardikawi
Hla, sumangga.